Aku yakinkan diri ini berulangkali sebelum berbicara
kepada kedua orang tua. Ini bukan sebuah keputusan yang mudah. Aku tahu, ada banyak rangkaian masalah yang
akan menanti aku setelah gerbang perjalanan ini. Namun, pilihannya apakah aku
bisa melihatnya sebagai sebuah halangan atau tantangan.
“Bunda, mbak menikah boleh ga?”
“Iya boleh selesai wisuda ya.”
“Kan udah pernah wisuda, kuliah mbak udah siap juga
tinggal wisuda doang…”
“Kenapa mbak tiba-tiba ingin cepat nikah?”
“Engga cepat juga sih, kakak kan udah kelar kuliah
bahkan udah kerja juga..”
“Emangnya, Hendra udah mau lamar mbak?”
“Iya, kalau diizinin.”
“Nanti bunda bilang sama ayah dulu.”
Hendra adalah nama pria yang menjadi pasanganku satu
tahun terakhir. Aku mengingat percakapan sekilas di malam itu. Mengapa hal ini
ingin aku segerakan? Mengingat aku berencana menikah dengan dia di pertengahan
tahun 2022. Bukan di awal 2021.
Aku dan Hendra sudah menjalin hubungan romansa selama
satu tahun terakhir. Kami menjalin hubungan jarak jauh. Aku di Medan.
Sementara, ia di Jakarta. Kedekakatan kami bermula di masa perkuliahan. Dia
satu tingkat di atasku. Tapi, soal pemikiran kadang aku merasa dia sepuluh
tahun lebih tua dari umur yang seharusnya. A really hard working man.
Tentu ada sedikit keraguan, tapi hingga saat ini semuanya teratasi dengan baik. Sejauh ini, ia memenuhi
standar kriteriaku dalam mencari pasangan hidup. Kadang, aku seperti bercermin.
Termasuk dalam urusan keras kepala dan tinggi-tinggian ego. Aku berterima kasih
kepada Tuhan karena menghadirkan dia di dalam kehidupanku.
***
Aku mendapatkan izin untuk menikah dari Ayah dan ibu dengan beberapa babak drama yang harus aku lewati.
Sesuai hari yang ditentukan, Hendra dan keluarganya datang ke rumahku. Ini
adalah hari pertama keluarga kami saling bersilaturahmi. Dan, tidak diduga
malah langsung tunangan.
Sebelumnya, Hendra secara pribadi sudah bertemu dengan
ayah dan Ibu untuk meminangku dan membawa keluarganya sebagai bukti
keseriusannya. Proses ini terbilang tidak cukup lama. Sampai lamaran dan
pinangannya diterima oleh keluargaku.
***
Aku berpikir kalau aku tidak sedang bermimpi, karena
aku mengambil keputusan itu dengan sangat sadar. Aku sadar ketika memutuskan
untuk memakai kebayak wisudaku dua tahun lalu untuk di hari pertunangan. Apakah
aku merasa malu dan kekurangan? Tentu tidak. Aku sudah sadar dan membuat
betasan tentang apa-apa saja yang bisa mengangguku. Bahagia bagiku bukan lagi
sebatas tentang pakaian baru dengan merek tertentu. As long as you happy, just
go with it.
Selain itu, tidak ada juga dekorasi hiasan yang
umumnya dijadikan backdrop foto. Apakah itu mengurangi kebahagiaanku? Lagi-lagi
tidak. Dalam Bahagia kita perlu bersepakat. Dan aku bersepakat untuk tidak
menggantungkan bahagiaku pada hal-hal yang hanya membuat pusing di kepala.
Pusing bagaimana yang dimaksud? Ketahuilah kalau
memikirkan tentang pernikahan tidak hanya sebatas tentang gaun pernikahan,
iringan pengantin, venue, undangan, dan lain sebagainya. Ada yang lebih
penting, yaitu kehidupan setelah pernikahan. Ada kursus yang harus diambil. Tes
kesehatan. Mengenal pasangan lebih jauh. Mengobrol tentang impian
masing-masing. Tugas masing-masing.
Namun, meskipun begitu aku tidak mempermasalahkan
orang lain yang ingin menghabiskan nominal-nominal tertentu untuk alasan momen
pertama dan terakhir di dalam hidup. Biarlah kita saling menghargai pilihan
masing-masing. Hehe.
My dreams come true: Married with our own
money.
Saat ini aku sedang belajar untuk menjalin hubungan
baik dengan uang. Tujuannya agar aku tidak menjadi budak uang. Kalau waktu
adalah uang, berarti bohong kita tidak punya uang kan? Aku meyakini aku harus
bekerja dengan cerdas sampai money is not issues anymore.
Salah satu kriteria yang aku tetapkan adalah aku ingin
menikah dengan menggunakan uang sendiri. Alhamdulillah, impian itu akan segera
terwujudkan. Bagiku, biar saja tidak mewah dan instagramable tapi itu adalah
hasil jerihpayahku dan pasangan. Tidak melangkahi peraturan nomor satu dalam
hidup “berhutang untuk mengesankan orang lain”. Mau sampai kapan kan?
Porsi uang resepsi pernikahanku dibagi tiga, ada uang
Hendra, aku, dan kedua orang tuaku. Kalau menggunakan rencanaku, tentu hanya
membutuhkan uang kami berdua. Namun, karena aku menyadari kalau ini bukan hanya
acara kami tapi juga acara keluarga, maka ego harus aku kendurkan. Sedikit kekurangannya
ayahku dengan senang hati menutupinya.
Aku takut berhutang. Oleh karena itu, aku belajar arti
sebuah kecukupan. Aku ingin tegaskan kepada uang bahwa aku bukan hambanya,
Melainkan dia adalah alatku untuk mencapai sebuah tujuan tertentu.
Tentang impian pernikahan, sejujurnya aku ingin acara
perayaan pernikahan yang intim dan hanya dihadiri kerabat dan teman-teman
terdekat saja. Intim, menawan, dan istimewa. Tapi, seperti yang aku bilang di
atas bahwa sulit untuk keluar dari cengkeraman budaya pernikahan yang sudah
menjadi bagian lingkungan kita selama bertahun-tahun lamanya.
Tidak apa kalau mengalah kan? Aku sedang belajar berkomunikasi dengan baik dan tidak baper. Percayalah sulit untuk berargumen tanpa menangis. Aku menikah bukan karena ditanya teman dan keluarga. Kalau ditanya pun sebenarnya aku tidak terlalu peduli dam ambil pusing. Dituntut orang tua? Tentu tidak. Sekalipun keluargaku tidak menyuruhku segera menikah, tetapi memberi izin kalau emang sudah siap. Tidak tahan melihat orang lain unyu-unyu? Tidak juga, sebagian orang menyimpang rapat-rapat momen-momen mesranya. Aku menikah karena aku meyakini bahwa ia adalah orang yang dipilihkan Tuhan untuk membimbing aku dan menjadi teman hidup untuk tumbuh bersama. Tuhan, karena aku yakin juga keyakinan datangnya dari-Mu, tolong jaga hatiku dan hatinya dalam ikatan sakral ini.
Bersambung.
Whoaaa, sungguh menyentuh...
BalasHapus