“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa
yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan
untukku tidak akan pernah melewatkanku.”
-Umar Bin Khattab-
Apakah
membutuhkan uang yang banyak untuk menapaki dan meninggalkan jejak di bumi
Sultan Alfatih? Jawabanya tidak. Perjalanan menembus batas di usia yang akan
menjelang kepala dua ini, saya membuktikan bahwasanya untuk terbang ribuan
kilometer jauhnya dari Indonesia menuju Istanbul, Turkey- sebuah kota yang
terletak diantara dua benua, yang diperlukan hanyalah berharap, berikhtiar,
dikuatkan dengan sholawat tiada henti, yakinkan dengan Allah seutuh-utuhnya
tanpa terlintas setitik keraguan sedikitpun, dan melibatkan Allah pada segala urusan. Uang
bukanlah penentu, Allah yang maha segalanya ialah sang penentu.
Masih
membekas diingatan bagaimana saya menangis haru di bangku pesawat pada hari
keberangkatan, september lalu. Tak mungkin terjadi jika menggantungkan harapan
pada orang tua yang kala itu memiliki prioritas keuangan untuk hal lain yang
lebih patut didahulukan daripada membelikan saya tiket pulang pergi Medan – Malaysia
– Istanbul – Malaysia – Medan, atau menggali semua tabungan saya yang juga tak
akan cukup, hanyalah Allah swt tempat menggantungkan segala harapan, lagi-lagi
shalawat yang menguatkan saya. “Allahumma
salli’ala muhammadin wa’ala ali muhammadin.” Kekuatan sholawat mulai
menyala, ternyata semua akomodasi saya dimulai biaya penerbangan, hingga biaya
konferensi international yang akan saya ikuti, ditambah uang saku yang cukup,
ditanggulangi oleh kampus tempat saya kuliah. Allahu akbar.
Dari
awal saya tak pernah khawatir tentang masalah biaya, yang saya yakini
shollawatullah adalah jalan agar saya mampu menghadiri konferesi tersebut.
Allah bukan mengundang yang mampu tetapi memampukan yang diundang, begitu yang
saya percayai. Pada setiap proses yang saya nikmati, pada setiap air mata
perjuangan, doa tiada henti, dan keyakinan pada Allah adalah hal yang saya
lakukan bukan mencari uang kesana-kemari melalui merendahkan diri, memohon
belas kasihan kepada manusia.
Saya
memiliki sebuah mimpi yang saya tuliskan dengan tinta merah pada desember 2016 lalu, sebuah keinginan untuk “mengikuti konferensi internasional”,
dipoin berikutnya saya menuliskan “naik
balon udara, di Turkey”. Ternyata selang 9 bulan berikutnya saya sedang
duduk di sebuah bangku sebagai salah satu delegasi terpilih dari Indonesia
untuk menghadiri sebuah konferensi Internasional bertemakan pendidikan dan
kewirausahaan, bersama puluhan mahasiswa segenerasi dengan saya, generasi
milenal labelnya. Ditengah kumpulan mahasiswa-mahasiswa dengan beragam latar
belakang yang sedang berlomba-lomba dalam kebaikan, mengisi masa muda dengan
sebaik-baiknya kegiatan, tidak hidup sebatas ingin panjat sosial dengan
mengenakan brand-brand ternama atau gaya hidup yang penuh dengan hedonisme tapi
hidup dengan tujuan yang sama meskipun dengan jalan yang berbeda yaitu “menjadi manusia yang bermanfaat bagi
orang-orang disekitarnya”. Dikelilingi mahasiswa-mahasiswa yang membawa
mimpinya kemanapun dia berjalan yang tesirat dalam rasa antusiasme yang tidak
bisa disembunyikan dari binaran bola mata penuh apresiasi kepada setiap orang
yang telah mampu untuk memberikan dampak positif kepada lingkungannya lewat
gerakan dan kontribusi kepada negeri dengan umur yang masih muda. Masha Allah. Allah Maha baik,
dipertemukannya saya dengan orang-orang seperti ini. Satu hal yang saya tahu
dari setiap diskusi, bahwa hampir semua yang hadir kala itu tidak menyangka
akan menghadiri konferensi ini. Tetapi tekad yang kuat dan keinginan untuk
tidak memyerah pada urusan duniawilah yang mengantarkan kami semua untuk saling
bertemu dan menjalin silahturahmi di negara yang kaya akan sejarah karena
pernah dikuasiai oleh Binzantium, Konstantinopel dan Ottoman Empire. Hal yang menyamakan adalah “kami semua percaya dengan jalur langit.”
Setelah
duduk diantara generasi pelintas batas dan berawal dari beberapa kalimat yang
pernah saya tuliskan di agenda dahulu, sekarang saya sedang berdiri didepan Aya Sofia, menunaikan sholat di Mesjid Biru, mengelilingi
wilayah Sultan Ahmed, memegang tembok konstatinopel, menjelajahi Taman
Miniaturk dan menyaksikan perjuangan Alfatih bersama tentaranya untuk
menaklukan kota Konstatinopel dari dalam sebuah museum, berlayar di selat
Boshporus diantara perbatasan Asia dan Eropa, berkesempatan untuk melakukan Red Tour
mengelilingi Kapadokya, menikmati matahari terbit dari atas balon udara dengan
ketinggian 10.000 kaki diantara tebing-tebing – mimpi saya sedari kecil, serta
menyaksikan matahari terbenam dari atas puncak-puncak tebing gua batu. Dimana
ketika menjelang malam, gua-gua yang dijadikan rumah oleh penduduk setempat
mulai menyalakan lampu sehingga menjadi pemandangan yang menajubkan bagi saya
karena di Istanbul, dari dalam gedung-gedunglah pancaran lampu. Kota gua saya
menyebutnya. Nikmat Tuhan mana lagi yang harus di dustakan.
Tidak
sampai disitu, Allah mewujudkan mimpi saya. Lagi dan lagi seperti tiada henti
kejutan yang saya dapatkan. Setelah mempertemukan saya dengan generasi man jadda
wa jadda dalam konferensi internasional, menjelajahi Istanbul dan Kapadokya,
berkesempatan menaiki balon udara ternyata kejutan terakhir adalah saya diberi
kesempatan untuk bertemu Ahmad Fuadi, penulis perantau yang bukunya
menggetarkan hati setiap pembacanya. Telah
diberikan saya rahmat-NYA untuk bertemu
dan berkolaborasi dengan generasi
milenal islami yang menjadikan alquran sebagai landasan dan pedoman hidupnya.
Terimakasih ya Allah karena memberikan kemudahan atas segala urusan.
Komentar
Posting Komentar