To Travel Is To Live, Malaysia, Dubai, Turkey : Istanbul ,Kayseri, Capadocya With the best stranger ever.
“Traveling it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.”
The Journey has begin, September 2017.
Musim peralihan, dari summer menuju Auntumn. Akhirnya, Istanbul bukan lagi sebatas angan-angan dan
impian belaka. Pesawat yang kutumpangi akan segera lepas landas di kota
Konstatinopel. Penerbangan Internasional pertama bagiku, ribuan kilometer
jauhnya dari Tanah Air. Tak bersama dengan orang tua, melainkan bersama tiga
gadis seumuran denganku yang baru saja kukenal di media sosial beberapa minggu
yang lalu. “Harus Berani!” Apa
gerangan yang membuat kami sampai di negara yang terkenal dengan kebab ini? Jawabannya
adalah “mengahadiri dan berpartisipasi
dalam Conference International.”.
“Congratulation, you are the selected to attending international
conference in Instabul,Turkey on 22nd until 25th September 2017.” Isi dari
sebuah surel yang hampir saja melepaskan jantungku, juni lalu.
Kemudian setelah
pengumuman pemberitahuan itu, hari-hariku dipenuhi segala persiapan
keberangkatan. Konon, katanya selalu ada yang pertama dalam hidup kita. Setelah
menyelesaikan registrasi kegiatan, pengurusan
passpor, tiket pesawat, visa, izin selama dua minggu dari perkuliahan-
kenapa dua minggu, padahal kegiatan berlangsung hanya selama empat hari?
Alasannya adalah “Your 20’s are your
‘selfish’ years. It’s a decade to immerse yourself in every single thing
possible. Be selfish with your time, and all the aspects of you. Tinker with
shit, travel, explore, love a lot, love a little, and never touch the ground” atau
kata lainnya adalah “kapan lagi?”
Petualanganku dimulai. Kami
menyepakati untuk berangkat lebih awal dan pulang lebih lama, “gadis-gadis gila”. Jangan kira kami
memiliki uang saku banyak, namun setidaknya cukup untuk jalan-jalan menikmati
dimulai dari negeri Jiran, selama 3 hari, kemudian dilanjutkan untuk singgah
menikmati Dubai dari dalam bandaranya saja selama 9 jam, karena tidak memiliki
visa yang akan meloloskanmu keluar dari pemeriksaan imigrasi, kemudian
mengunjungi tiga kota di Turkey, yaitu : Istanbul yang merupakan kota yang
terletak diantara benua Asia dan benua Eropa, Kayseri, kemudian Capadocya- destinasi
balon udara terkenal di dunia yang hanya ada di Turkey.
Kualanamu International,
Airport. 18 September 2017
Menghadiri
konferensi Internasional adalah salahsatu resolusiku di tahun 2017 dan Turkey
adalah satu-satunya negara yang aku tulis di agenda untuk dikunjungi.
Dihari keberangkatanku
terpancar jelas segala kekhawatiran dari orangtuaku untuk melepas anak gadisnya
pertamakali, aku hanya tersenyum dan meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja.
Beruntungnya juga bahwa
biaya transportasi aku untuk berangkat ke Istanbul dan biaya mengikuti program
telah ditalangi dari pihak kampus, karena dalam kegiatan ini aku menjadi
delegasi atau perwakilan kampus. Jadi hanya biaya aku selama berkesplorasi yang
aku keluarkan.
Kuala Lumpur International Airport,
18 September 2017
Pukul
sepuluh pagi waktu Malaysia, kami telah selesai proses pemeriksaan imigrasi dan
bingung selanjutnya bagaimana. Langsung berkeliling dengan menggiring koper
seberat 25 kilogram atau memutuskan istrahat saja.
Pada akhirnya adalah kami
memutuskan untuk beristirahat dulu sejenak kerumah salahsatu saudara dari teman
berangkatku untuk menghantarkan koper. Supaya asik bertualang ria, menjelajahi
negara tetangga terdekat Indonesia.
Malaysia, 19-20 September 2017
Meskipun beberapa hari di
negara yang masih satu rumpun dengan Indonesia, sabanhari yang kami lakukan
adalah berwisata murah dan meriah tapi tetap menyenangkan. Hal yang tak akan
aku lupakan adalah kami bolak-balik naik MRT dari “Sungai Buloh menuju Kajang”,
Dimana kami bisa menikmati Malaysia dari kereta cepatnya dengan jalur yang
mengangkasa diantara blok-blok apartemen di pinggiran kota. Diiringi dengan suara desing mesin yang
terdengar halus seiring dengan lajunya menerobos angin. Belum lagi buliran air
hujan yang menempel pada kaca jendela yang membuatku mulai jatuh cinta pada
negara kecil ini.
Dubai,21 September 2017.
“The best part about
airports lies ini what they symbolize. Airports are places of bookends : new
beginnings and long-awaited endings, arrivals and departures, hellos and
goodbyes. We start in one city to end in another hundreds or thousand miles
away.”
Total Perjalanan dari KL
ke Istanbul adalah 21 Jam 45 Menit dengan transit satu kali di Dubai selama 9
jam 45 menit. Dubai, adalah tempat dimana hal-hal yang tidak ada disulap
menjadi ada,katanya. Gedung pencakar langit tertinggi di dunia, mobil polisi
termahal di dunia, mall terbesar di dunia dan penduduk yang gandrung akan
barang-barang mahal.
Jangan khawatir akan
sebosan apa menghabiskan waktu selama itu di bandara, apalagi sekelas bandara
international Dubai. Bandaranya bersih, free
wifi dengan speed kencang,
colokan charger yang tersedia dimana saja dan ada banyak tempat istirahat.
Istanbul, Kayseri, Capadocya
22-29 September.
Menghadiri sebuah
konferensi Internasional bertemakan pendidikan dan kewirausahaan, bersama
puluhan mahasiswa segenerasi dengan saya. Ditengah kumpulan mahasiswa-mahasiswa
dengan beragam latar belakang yang sedang berlomba-lomba dalam kebaikan,
mengisi masa muda dengan sebaik-baiknya kegiatan, tidak hidup sebatas ingin
panjat sosial dengan mengenakan brand-brand ternama atau gaya hidup yang penuh
dengan hedonisme tapi hidup dengan tujuan yang sama meskipun dengan jalan yang
berbeda yaitu “menjadi manusia yang
bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya”.
Setelah duduk diantara
generasi pelintas batas, sekarang aku sedang berdiri didepan Aya Sofia, menunaikan sholat di Mesjid Biru,
mengelilingi wilayah Sultan Ahmed, memegang tembok konstatinopel, menjelajahi
Taman Miniaturk dan menyaksikan perjuangan Alfatih bersama tentaranya untuk
menaklukan kota Konstatinopel dari dalam sebuah museum, berlayar di selat
Boshporus diantara perbatasan Asia dan Eropa,
berkesempatan untuk melakukan Red Tour mengelilingi Capadokya, menikmati
matahari terbit dari atas balon udara dengan ketinggian 10.000 kaki diantara
tebing-tebing – mimpiku sedari kecil, serta menyaksikan matahari terbenam dari
atas puncak-puncak tebing gua batu.
Perjalanan ini mematahkan stigma dikepalaku selama ini,
bahwa traveling harus mahal, harus punya duit banyak, harus berbelanja ini dan
itu, padahal yang aku temukan selama perjalanan ini bertolak belakang dengan
hal-hal tersebut. Tidak melulu tentang pandangan orang-orang terhadap gaya
perjalanan kita, yang prioritas adalah bagaimana cara kita menikmati dan
menghargai kesempatan yang ada. Bukankah perjalanan kami berempat yang
sama-sama belum menungunjungi negara Turkey tidak dilandaskan dengan niat
jalan-jalan? Kami dipersatukan oleh kesempatan menghadiri conference internasional, artinya niat kami sebelumnya adalah
belajar, sederhana.
(Blue Mosque)
#Note : disambung dilain waktu ya, sebenarny banyak yang ingin diceritakan, gapapa meskipun sudah lama. :')
Komentar
Posting Komentar